Terang Di Kasepuhan Ciptagelar Gunung Halimun

 Itulah kondisi terkini warga Kampung Ciptagelar Terang Di Kasepuhan Ciptagelar Gunung HalimunDunia dalam genggaman. Itulah kondisi terkini warga Kampung Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Menurut Abah Ugi, pemimpin budpekerti masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, ketika ini warga sanggup menggunakan banyak sekali perangkat elektronik ibarat telepon genggam.


Itu berkat setrum yang mengalir dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Cicemet. Kasepuhan Ciptagelar yang terdiri atas 586 kampung dengan penduduk mencapai 4.600 kepala keluarga


Listrik yang mengalir melalui kabel twistik bermaterial tembaga putih itu berkhasiat untuk mengisi ulang baterai telepon genggam. Tanpa listrik, telepon genggam itu hanya menjadi pajangan. “Dulu punya telepon percuma alasannya ialah tidak bisa digunakan di sini,” kata Odir, warga kampung Ciptagelar yang termasuk dalam tempat Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH)  itu.


Kini pemandangan warga tengah mengirimkan pesan pendek dan menelepon menjadi hal biasa. Padahal 3–4 tahun kemudian sulit menjumpai warga di kampung yang berjarak 90 km dari Kota Sukabumi itu menggunakan telepon genggam meskipun di Kasepuhan Ciptagelar telah berdiri sebuah Base Transceiver Station (BTS) salah satu operator telepon genggam.


 Itulah kondisi terkini warga Kampung Ciptagelar Terang Di Kasepuhan Ciptagelar Gunung HalimunSumber listrik berasal dari PLTMH Cicemet yang pembangunannya menelan biaya Rp340.719.000. Sebagian biaya itu sebesar Rp122.030.000 diperoleh dari swadaya masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Sisanya hibah dari kedutaan besar Jepang melalui Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) senilai Rp218.689.000.


PLTMH yang menggunakan turbin cross flow dengan generator AC merek Stamford tipe two bearing generator itu dibangun selama 3 bulan semenjak awal Maret hingga Mei 1997.


Menurut Supatja, penanggung jawab PLTMH Cicemet, pembangkit mikro hidro di ketinggian 1.050 m di atas permukaan bahari itu mempunyai kapasitas terpasang 80 kW. “Seiring waktu dan dilema penyediaan sparepart kemampuan pembangkit turun menjadi 60 kW. Bahkan 5 tahun terakhir ini hanya mencapai 40 kW,” kata Supatja.


Meski demikian pembangkit yang sumber airnya berasal dari Sungai Cisono yang berhulu di Gunung Botol itu tetap bisa memasok air untuk pipa pesat atau penstock berdiameter 60 cm dengan panjang 27,5 m yang dibangun pada kemiringan 40 derajat. Itu karena debit air melimpah. Saat animo kemarau debit air berkisar 300 liter/detik dan animo hujan mencapai 500 liter/detik.


Listrik yang dihasilkan generator dialirkan kepada rumah warga melalui  kabel twistik yang disangga tiang besi mengerucut dengan tinggi 7 m berdiameter 6 cm-4 cm-2 cm untuk jarak antartiang sepanjang 50 m. Bila jarak antartiang 30-40 m digunakan besi penyangga bergaris tengah 8 cm-6 cm-4 cm. “Jarak kabel hingga rumah Abah sekitar 2 km. Paling jauh bisa mencapai 8-10 km. Itu menjangkau 14 kampung di Desa Sirnaresmi,” kata Supatja. Jarak terdekat ialah Puskesmas yang terpisah 30 m dari rumah turbin berukuran 4 m x 3 m.


 Itulah kondisi terkini warga Kampung Ciptagelar Terang Di Kasepuhan Ciptagelar Gunung HalimunListrik mikrohidro itu menyala mulai pukul 16.00-08.00 WIB. Namun, di rumah besar alias imah gede-tempat warga dan tamu berkumpul-dan tempat tinggal Abah Ugi yang menyala 24 jam nonstop. Warga Ciptagelar memang mencicipi manfaat.


“Selain handphone, kami kini bisa menggunakan kulkas dan menonton televisi,” ujar Salim, warga Kampung Ciptagelar yang terdiri atas 80 kepala keluarga itu. Dengan kulkas, misalnya, beberapa warga sanggup berjualan es yang dijajakan di warung dan sekolah dasar di Desa Sirnaresmi.


Menurut Abah Ugi, efek nyata lain dari kehadiran listrik PLTMH yang ramah lingkungan itu, ia sanggup membangun pemancar radio lokal, menyediakan komputer termasuk jaringan internet. “Kami ingin warga budpekerti di sini maju pendidikannya tidak kalah dengan yang tinggal di kota,” ujar generasi ke-9 pemimpin budpekerti Kasepuhan Ciptagelar itu.


Untuk mengelola PLTMH itu selaku pemimpin, Abah Ugi memutuskan biaya beban listrik melalui musyawarah dengan warga. Pada 1998 biaya per watt ialah Rp150. Seiring naiknya harga suku cadang  dan biaya operasional lain, harga per watt ditetapkan Rp300 pada 2007-2008. “Rata-rata setiap rumah menggunakan 0,5 ampere atau 100 watt,” kata Abah Ugi. Petugas yang ditunjuk akan memungut biaya setiap bulan. “Bagi warga yang belum bisa diberikan toleransi sekitar 1-2 bulan untuk membayar,” tambah Abah Ugi.


 Itulah kondisi terkini warga Kampung Ciptagelar Terang Di Kasepuhan Ciptagelar Gunung HalimunAnggaran yang terkumpul memang tak besar. Sebanyak 98% dana itu diperuntukkan untuk menggaji 4 karyawan pengelola turbin dan pemeliharaan rutin turbin setiap 11.000 jam. Beruntung warga Kasepuhan Ciptagelar paham manfaat besar PLTMH.


Maka ketika generator rusak pada 2009, warga secara swadaya menggumpulkan dana untuk memperbaiki. “Butuh biaya Rp25-juta untuk memperbaiki. Dari dana masyarakat terkumpul Rp17-juta. Sisa kekurangan biaya itu ditanggung sementara oleh Abah,” kata Supatja.


Jauh sebelum PLTMH Cicemet berfungsi, sebagian masyarakat Kasepuhan Adat Banten Kidul terutama di Kampung Ciptarasa, Desa Sirnarasa, kerap mengalami byar pet setrum dari sungai. Kampung Ciptarasa merupakan lokasi imah gede dan tempat tinggal pemimpin masyarakat Kasepuhan Adat Banten Kidul sebelum dipindahkan oleh Almarhum Abah Anom-ayah Abah Ugi-ke Kampung Ciptagelar pada Juli 2001.


Pada 1996 Abah Anom membangun pembangkit listrik bertenaga diesel dengan kapasitas 2,5 kW sebelum berubah menggunakan PLTMH dengan kapasitas terpasang 120 kW. Pembangkit itu memanfaatkan aliran Sungai Cimaja dan Cisarua. “Saat animo kemarau setiap 2 hari sekali saling bergiliran padam lampu,” ujar Ujil. Saat itu yang menerima penerangan  sekitar 7 kampung di Desa Sirnarasa.


Menurut Abah Ugi, sang ayah mempelopori pemakaian listrik secara sanggup berdiri diatas kaki sendiri semenjak 1982. Saat itu Abah Anom membangun beberapa kincir yang yang menggunakan dinamo (keren) dengan daya listrik maksimal 100 watt. “Paling satu keren bisa digunakan untuk satu rumah saja,” ujar Abah Ugi. Hingga ketika ini keren masih digunakan di beberapa tempat ibarat tampak di samping rumah turbin Cicemet. Di sana 3 keren yang masih berfungsi baik.


Beberapa pihak luar yang peduli kampung budpekerti ikut membantu pengadaan pembangkit listrik. Di Kampung Cisalimar, misalnya, dibangun PLTMH berdaya 30 kW derma dari Japan International Coorporation Agency (JICA). Di Kampung Palajaran, IBEKA membangun PLTMH berdaya 11 kW. “Bantuan lain tiba dari Kerajaan Jepang, UNDP, institusi pendidikan, dan bank pemerintah,” kata Abah Ugi yang menyebutkan beberapa warga Ciptagelar yang jago merakit turbin telah dikirim membantu pembangunan PLTMH sejenis ke Aceh dan Kalimantan Timur (Dian Adijaya Susanto).


 Itulah kondisi terkini warga Kampung Ciptagelar Terang Di Kasepuhan Ciptagelar Gunung HalimunRiwayat penulis: Penulis pernah menjabat Redaktur di Majalah Pertanian Populer, Trubus. Beberapa rubrikasi: sayuran, obat tradisional, satwa dan ikan, serta eksplorasi pernah diasuhnya. Penulis yang merupakan alumnus Program Pascasarjana Universitas Indonesia dalam Biologi Konservasi itu juga pernah menangani Unit Pengembangan Bisnis dan Promosi jaringan Pemasaran Pertanian dan menjadi konsultan. Korespodensi: dianadijaya17@gmail.com


Belum ada Komentar untuk "Terang Di Kasepuhan Ciptagelar Gunung Halimun"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel