Jakarta Bebas Banjir Dengan 185.226 Lubang Biopori

Perkembangan kota yang semakin pesat setiap tahun menyerupai Jakarta telah mendorong alih fungsi lahan pada area resapan air menyerupai hutan kota dan taman kota yang dikategorikan sebagai ruang terbuka hijau (RTH).


Sebagai citra menurut rencana induk tata ruang Jakarta pada 1965 jumlah RTH dikala itu mencapai 37,2% persen atau sekitar 241,8 km2. Namun pada 1985 luas RTH tersisa hanya 13,94% atau 96,6 kilometer persegi dari luas Jakarta sebesar 661,52 km2. Pada 2000-an RTH tersisa sekitar 70-75 km2.


Apa pengaruh menyusutnya RTH itu? Saat demam isu hujan tiba, sebagian besar air hujan tidak sanggup meresap secara eksklusif ke dalam tanah yang selama ini bisa dilakukan oleh RTH. Air hujan tersebut menjadi limpasan atau run off yang tidak tertangani sehingga mengakibatkan banjir, terlepas dari air kiriman dari daerah hulu sungai yang melintas Jakarta. Oleh alasannya pada kenyataannya, tanpa ada luapan air, asalkan berlangsung hujan selama 2-3 jam, banyak lokasi di Jakarta kebanjiran.


Permasalahan banjir tersebut bisa diminimalisir dengan menggunakan teknologi biopori yang diciptakan oleh peneliti Khamir Brata dari IPB Bogor. Biopori sanggup mengurangi limpasan air hujan dengan meresapkan lebih banyak volume air hujan ke dalam tanah.


Apa sebetulnya biopori? Biopori merupakan lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akhir banyak sekali akitivitas makhluk hidup menyerupai cacing, perakaran tanaman, rayap, serta fauna tanah lainnya.


Lubang-lubang yang terbentuk akan terisi udara dan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah. Biopori bisa diaplikasikan di tempat perumahan atau gedung-gedung perkantoran 100% kedap air atau sama sekali tidak ada tanah terbuka menyerupai tampak tempat Sudirman maupun Thamrin, keduanya di Jakarta Pusat.


Biopori sangat mengandalkan jasa binatang tanah menyerupai cacing dan rayap untuk membentuk pori-pori alami dalam tanah, dengan proteksi sampah organik, sehingga air bisa terserap dan struktur tanah diperbaiki. Di tempat dengan 100% kedap air, biopori sanggup dilakukan dengan menciptakan lubang di kanal air atau di area yang sudah terlanjur diperkeras dengan semen menggunakan alat bor. Lubang biopori berukuran diameter 10 cm dengan kedalaman 80-100 cm.


Lubang biopori itu selanjutnya diisi sampah organik ini berfungsi untuk membantu menghidupkan fauna tanah yang akan menciptakan lubang-lubang biopori alami. Setiap sampah organik mempunyai laju absorpsi berbeda lantaran bekerjasama dengan fauna tanah dalam menguraikan atau mendegradasi sampah organik. Sampah organik yang bisa mengundang banyak fauna tanah akan semakin banyak meresapkan air.


Dari banyak sekali penelitian terungkap sampah kulit buah lebih besar meresapkan air daripada sampah daun dan sayuran. Hal tersebut lantaran aroma kulit buah dan rasa cantik bisa memikat mikroba atau fauna tanah menyerupai cacing, semut, rayap, dan lainnya.


Laju absorpsi sampah kulit buah mencapai 0,088 liter/detik pada umur penguraian 7 hari dan 0,041 pada umur penguraian 14 hari. Sampah daun hanya 0,031 liter/detik (7 hari) dan 0,022 liter/detik (14 hari).


Berapa banyak lubang biopori yang perlu dibentuk untuk Jakarta semoga bebas banjir? Sebagai ilustrasi daerah seluas 100 m2 dengan intensitas hujan 50 mm/jam (hujan lebat), laju absorpsi air per lubang mencapai 3 liter/menit atau 180 liter per jam memerlukan sebanyak 28 lubang biopori. Setiap lubang tersebut sanggup menampung 7,8 liter sampah organik atau setara 5,04 kg, yang sanggup diisi ulang 56-84 hari berikutnya.


Jadi, Jakarta seluas 661,52 km2 atau 661.520 m2 perlu mempunyai 185.226 lubang biopori semoga terbebas dari banjir. Lubang tersebut juga bisa menampung 3.334.061 kg setara 333,4 ton sampah organik setiap 56-84 hari.


Belum ada Komentar untuk "Jakarta Bebas Banjir Dengan 185.226 Lubang Biopori"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel