Berkebun Cokelat Di Lahan Mini
Berkebun cokelat di lahan mini? Kenapa tidak! Itu dilakukan oleh Widiasih di Desa Sungailangka, Kabupaten Pesawaran, Lampung Selatan. Di lahan 800 m2 Widiasih menanam 100 pohon cokelat alias kakao dan saban 3-5 hari memanen 25 kg biji basah. Setiap bulan seratus pohon cokelat itu memberinya pendapatan Rp1,5-juta.
Menurut Widiasih tidak sulit merawat anggota famili Malvaceae berumur 10 tahun itu. Sebanyak 2-3 kg/pohon pupuk sangkar setiap bulan dan pupuk organik setiap 2-3 bulan rutin diberikan. Total biaya perawatan hanya Rp300.000/pohon/tahun.
Biji-biji cokelat segar dijual Rp10.000/kg. Namun jika biji itu difermentasi, harga melambung mencapai Rp20.000-Rp25.000/kg. Fermentasi tidak sulit. Caranya dengan meletakkan biji cokelat dalam peti kayu berukuran 60 cm x 60 cm x 60 cm selama 5-6 hari. Fermentasi itu menciptakan kadar air biji cokelat menurun menjadi 7-8%. Fermentasi juga menciptakan aroma biji cokelat wangi. Sayang, lebih banyak didominasi pekebun menentukan menjual segar karena terganjal waktu fermentasi yang dianggap lama.
Saat ini memang bertebaran pekebun yang mengusahakan flora cokelat di lahan mini. Disebut mini alasannya yaitu pekebun mengelola kebun seluas kurang dari 1 ha. Harap mafhum, perkebunan cokelat selama ini memiliki luas di atas 100 ha dan itu biasanya milik perusahaan. Menurut Dr Agung Wahyu Susilo, periset di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur, skala rakyat hingga 10 ha sudah tergolong kebun besar.
Kebun seluas 1 ha layak secara ekonomis. Dari 1 ha dengan populasi 800-900 tanaman, pekebun sanggup memanen 1 ton/tahun biji kering (dari 2,5 ton basah, red) hasil fermentasi. Bila harga jual Rp20.000/kg, pendapatan mencapai Rp20-juta. Setelah dipotong ongkos perawatan sekitar Rp6-juta, pekebun menangguk keuntungan higienis Rp14-juta/tahun.
Sejatinya, pasar cokelat di tanahair terus tumbuh. Industri berbahan baku cokelat terus meningkat mulai dari makanan hingga kosmetik. Apalagi sekarang pemerintah memberlakukan bea keluar ekspor biji kakao yang menciptakan industri pengolahan yang semula mati suri, berdiri lagi. International Cocoa Organization (ICCO) pada 2011 memperkirakan konsumsi kakao dunia mencapai 4,1-juta ton dan naik sekitar 5,8% setiap tahun.
Produksi kakao nasional pada 2009 mencapai 809.583 ton-terbesar ke-3 sesudah Pantaigading dan Ghana. Kondisi itu pula yang mendongkrak harga kakao kering menjadi Rp20.000-Rp23.000/kg dari semula Rp15.000/kg.
Peluang besar itu memang mesti ditangkap. Salah satunya menggenjot produksi melalui pemakaian varietas kakao unggul ibarat sulawesi-1 dan sulawesi-2. Dengan varietas gres itu, produksi akan meningkat dan serangan hama penggerek buah serta anyir buah akhir cendawan Phytophthora palmivora yang merugikan sanggup berkurang. Harap mafhum, kerugian akhir serangan hama dan penyakit itu sanggup mencapai 80%.
Belum ada Komentar untuk "Berkebun Cokelat Di Lahan Mini"
Posting Komentar