Potret Industri Ikan Hias Nasional

Banyak pihak mengkritisi kalau pendapatan tinggi itu belum diimbangi daya serap tenaga kerja besar. Saat ini acara budidaya ikan hias ditekuni sekitar 12.000 keluarga dengan komoditas utama: koi, arwana, maskoki, dan cupang. Bandingkan pelaku budidaya ikan konsumsi air tawar yang mencapai 844.000 keluarga.
Sejatinya perjuangan budidaya ikan hias sudah mengatakan eksistensi dalam memberi pendapatan lebih baik bagi pelakunya. Fakta itu semakin berpengaruh kalau melihat data United Nation Commodity Trade Statistics Database (UN Comtrade) pada 2012 yang menunjukkan status peringkat Indonesia sebagai produsen ikan hias dunia yang ketika ini menjadi ke-5 dari semula ke-9 (2009) dan ke-13 (2007). Posisi 5 besar lain ialah Singapura, Jepang, Thailand, dan Ceko.
Kondisi itu seyogyanya perlu segera direspon pemerintah. Pemerintah perlu berupaya berbagi industri ikan hias nasional yang belum mempunyai cetak biru arah dan tujuan. Penyebabnya ialah Kebijakan Nasional Industrialisasi Kelautan dan Perikanan, tertuang dalam PERMEN KP No 27 tahun 2012 perihal Pedoman Umum Industrialisasi Kelautan dan Perikanan, menyebutkan industrialisasi perikanan Indonesia bertumpu pada 7 komoditas (resources based industries), yakni ikan tuna, tongkol, cakalang, rumput laut, bandeng, patin, udang, dan garam.

Selama ini hasil budidaya ikan hias dipasok dari sentra-sentra produksi nasional menyerupai Jakarta (cupang), Bekasi (rainbow), Bogor (puntius), Depok (tetra), Tulungagung (maskoki), dan Blitar (koi). Namun permasalahan timbul menyerupai terjadi di sektor pertanian lain ketika terjadi degradasi lingkungan dan alih fungsi lahan.
Sebab itu kemajuan sektor hulu butuh akad pemerintah untuk melindungi perjuangan budidaya melalui perda atau peraturan lain yang setara, selain berperan aktif dalam perbaikan kualitas (quality improvement) dan kontrol kualitas (quality control) produk ikan hias.
Ikan hias tangkapan alam ketika ini terkendala pada minimnya peta potensi ikan hias dan degradasi lingkungan yang berujung kepada status rentan (vulnerable) sampai terancam (threatened) menyerupai terjadi di lahan gambut. Lahan gambut yang merupakan nursery dan spawning ground bermacam-macam ikan menyerupai arwana, tigerfish, rasbora, dan cupang, sekarang sebagian besar telah mengalami alih fungsi menjadi hutan tanaman indutri (HTI) dan perkebunan. Ironisnya ketika itu terjadi, banyak ikan hias alam belum sanggup dibudidayakan.
Di hilir, Asosiasi Eksportir Ikan Hias Indonesia (INAFISH) menyebutkan, 75-80% produk ikan hias tanahair merupakan komoditas ekspor. Sayangnya Perhimpunan Ikan Hias Indonesia (PIHI) mensinyalir 70% permasalahan ekspor ikan hias itu berada pada koordinasi antarlembaga yang semestinya sanggup dieliminir sehingga sanggup fokus pada promosi untuk memperluas jaringan pemasaran.
Transformasi nilai potensi ikan hias juga menjadi elemen penting. Transformasi nilai potensi ikan hias tersebut tidak melulu ditinjau dari aspek nilai produksi (fish for money), tapi juga aspek psikologi betapa pentingnya memelihara ikan hias sebagai fish for love, fish for science, fish for culture, dan fish for biodiversity.
Kita mungkin sanggup memalsukan upaya Kementerian Perikanan dan Pertanian Australia yang rutin menggelar program tahunan Ornamental Fish Policy Working Group Member dengan melibatkan stakeholder ikan hias. Melalui acara itu, pemerintah Australia sudah menerbitkan buku panduan pengelolaan ikan hias: A Strategic Approach to The Management of Ornamental Fish in Australia. Semoga pemerintah dan stakeholder ikan hias Indonesia sanggup berbuat serupa, bahkan jauh lebih baik (Dr Melta Rini Fahmi MSi).

Belum ada Komentar untuk "Potret Industri Ikan Hias Nasional"
Posting Komentar