Kisah Gembira Septi Dari Kota Subulussalam

 Septi sanggup bertahan hidup sampai bebas pada  Kisah Gembira Septi Dari Kota Subulussalam

Peta: Forum Konservasi Gajah Indonesia


Apes nian nasib Septi. Terpisah dari kelompoknya, ia pun “terkurung” di perkebunan di Desa Tangga Besi, Kecamatan Simpang Kiri, Kota Subulussalam, Provinsi Aceh selama 5 tahun. Beruntung, Septi sanggup bertahan hidup sampai bebas pada 10 Desember 2018 melalui penyelamatan dari sejumlah pihak menyerupai BKSDA Aceh, Dinas LHK Aceh, KPH Wilayah 6 serta forum nirlaba konservasi menyerupai WCS, FKL, dan OIC.





Septi yakni seekor gajah dewasa. Ia berumur 20 tahun ketika dievakuasi. Proses penyelamatan Septi yang lehernya lantas dipasang alat GPS Collar untuk memantau pergerakan itu merupakan solusi mengatasi konflik gajah dan insan yang acapkali terjadi di Kota Subulussalam. Sesungguhnya, Kota Subulussalam yakni kantong gajah di Aceh.




Sejatinya, kantong gajah di Kota Subulussalam itu tersendiri. Ia terpisah dari subpopulasi gajah Aceh di penggalan barat, tengah, utara, serta timur. Kelompok gajah tersebut terkenal dipanggil sebagai kelompok gajah singkil, berpopulasi kurang dari 50 ekor pada 1993 (Catatan Santiapillai dan Ramono, peneliti gajah sumatera). Total populasi gajah di Aceh pada 1984-1993 mencapai 600-850 ekor, menyerupai laporan Blouch dan Haryanto, peneliti gajah sumatera.





Sejalan waktu, survei terbaru menawarkan populasi gajah di Kota Subulussalam itu anjlok, tersisa 10 ekor, di antaranya Septi. Gajah-gajah itu menempati habitat terbatas karena dominan habitat mengalami alih fungsi alias konversi menjadi perkebunan. Bahkan dampak pemekaran dari Kabupaten Singkil pada 2007, memicu pula menyempitnya ruang gerak gajah alasannya yakni terjadi perambahan hutan secara masif.





Sejurus itu populasi gajah pun terkonsentrasi di wilayah Hutan Bengkung, Desa Pasir Belo, Kecamatan Sultan Daulat. Mirisnya, sejumlah gajah diketahui terpisah dari kelompok dan tidak mempunyai kanal bergabung dengan kelompok lagi, kecuali ada upaya penyelamatan menyerupai terjadi pada Septi. Septi sanggup bergabung lagi dengan kelompok gajah di Hutan Bengkung.





Kota Subulussalam memang kental dengan konflik gajah dan manusia. Sebab eskalasi konflik mengkhawatirkan, dibentuklah Conservation respond Unit (CRU) Trumon sebagai unit mitigasi konflik gajah dan manusia. Tim itu menggunakan gajah jinak serta sejumlah mahout (Pawang, red) gajah. Upaya itu sukses menurunkan konflik antara gajah serta manusia.





Selain CRU, tindakan penyelamatan gajah mendorong Yayasan Leuser Indonesia merancang seni administrasi koridor gajah seluas 2.700 hektar. Koridor itu menghubungkan 3 lokasi, yakni Hutan Bengkung, Rawa Singkil, serta Taman Nasional Gunung Leuser. Meski begitu, koridor tersebut tetap rentan mengalami konversi lahan oleh masyarakat. Terbukti, pemerintah pada 2002 mengambil kembali 300 hektar lahan yang sempat terkonversi menjadi kebun masyarakat.





Kejadian penyelamatan gajah di Subulussalam yang menjadi isu di media, tolong-menolong letupan dari persoalan segunung dari pemberian gajah di Pulau Sumatera. Masalah utama gajah di Pulau Sumatera yakni konversi habitat. Itu salah satu dampak dari perijinan oleh pemerintah pascapencabutan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi HGU (Hak Guna Usaha) untuk kebun. Dampaknya, gajah-gajah terpencar di dalam kelompok-kelompok kecil, bahkan banyak gajah-gajah individu “terkurung” di lahan yang berubah fungsi itu.





Sebagai gambaran, masifnya pembukaan hutan pada 2017 memaksa Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Provinsi Aceh menghentikan kegiatan alat berat perusahaan sawit alasannya yakni membuka lahan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Hal itu memicu terjadinya isolasi kelompok gajah. Yang terjadi selanjutnya, gajah merusak kebun sawit, bahkan melebar ke lahan jagung serta padi tadah hujan milik masyarakat. Konfilk pun tak terelakan, bahkan menjadikan korban jiwa di kedua belah pihak.





Evakuasi Septi merupakan solusi jangka pendek bagi kelompok gajah Subulussalam yang terisolir. Langkah penting lain dan berkelanjutan yakni memfungsikan koridor gajah di wilayah hutan Bengkung, Rawa Singkil, serta dan Taman nasional Leuser. Koridor gajah tersebut sanggup menjadi Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) menyerupai diinisiasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama HAKA di kantong gajah DAS Peusangan, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh.





Pengelolaan intensif wilayah koridor gajah itu sanggup memetakan lokasi-lokasi gres kelompok gajah sebagai ekses dari perubahan habitat tersebut. Ini sanggup pula menjadi jalan peningkatan serta pengkayaan habitat bagi gajah di Kota Subulussalam. Pun pengembangan zona pengelolaan di wilayah koridor juga vital untuk tujuan pengelolaan dan pergerakan tim mitigasi konflik gajah-manusia.





Walaupun dalam seni administrasi dan rencana agresi konservasi gajah sumatera dan gajah Kalimantan di Bogor, Jawa Barat pada November 2018, kantong gajah Subulussalam (Singkil) tidak menjadi sasaran pemberian jangka panjang meta populasi gajah Aceh, tetapi kantong gajah itu keberadaannya penting dalam bingkai peningkatan konservasi habitat dan populasi karena mempunyai waktu untuk proses pemulihan (Dr Wisnu Sukmantoro).






 Septi sanggup bertahan hidup sampai bebas pada  Kisah Gembira Septi Dari Kota Subulussalam





Riwayat penulis: Penulis merupakan alumnus biologi Universitas Padjajaran (Unpad) dan menuntaskan tingkat doktoral pada konservasi gajah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Saat ini penulis merupakan anggota IUCN SSC-Asian Elephant Conservation Specialist.

Belum ada Komentar untuk "Kisah Gembira Septi Dari Kota Subulussalam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel