Kunci Sukses Pertanian: Breeding

Tahukah Anda, mangga yang disajikan di hotel bintang 5 di Thailand rupanya lebih buruk daripada mangga Indonesia? Namun begitu dikupas, ditaruh di wadah lantas diberi ketan dan irisan jeruk, peminatnya antre. Itu alasannya ialah kualitas mangga seragam. Kalau yang satu asam, lainnya manis, mana mau orang antre.


Contoh lain ialah durian. Sebagian orang Indonesia lebih suka membeli durian monthong ketimbang durian lokal yang mutunya tidak seragam. Dari satu pohon, ada yang cantik dan hambar.


Lain halnya dengan durian monthong, di mana dan kapan pun membeli, rasanya sama. Mengapa Thailand sanggup mencapai kemajuan itu? Jawabnya mereka serius pada breeding.


Breeding jadi perhatian alasannya ialah orientasi mereka ialah pertanian komersial. Produk yang dihasilkan harus komersial untuk melayani konsumen yang komersial juga. Kalau kita berhadapan dengan barang komersial, katakanlah pasta gigi, mustahil bentuknya selamanya sama. Apa pun barang komersial mesti sanggup dikembangkan dan diubah terus hingga maju. Keinginan konsumen pun diperhatikan sekali.


Begitu juga dengan pertanian komersial. Konsumen mustahil puas dengan kualitas yang itu-itu saja. Misalnya orang membeli mangga, ingin manis, banyak air, tidak berserat, warna menarik, dan ukuran besar. Tidak mau lagi mangga yang kecil dan rasa tidak seragam. Mereka berharap keinginannya terpenuhi. Pada produk pertanian cita-cita itu hanya sanggup dipenuhi melalui breeding.


Sekarang mengapa produk ekspor ibarat buah Indonesia kalah dari Thailand? Saya menyorotinya dulu dari kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah semenjak 1966 menginginkan pengadaan beras berkecukupan. Waktu itu kita mendapat santunan besar dari IRRI (International Rice Research Institute). IRRI membuatkan padi berumur pendek dan produksi tinggi. Itu cocok dengan kebijakan pemerintah. Masuklah varietas-varietas IRRI dan kita berhasil mencapai swasembada beras.


Namun, kebijakan yang terkonsentrasi pada padi menjadikan kita melupakan komoditas lain. Tidak ada yang mengurusi pemuliaan mangga atau durian sehingga kita ketinggalan dalam aspek produksinya. Ukuran ketinggalan berdasarkan saya ialah kita sudah kekurangan pemulia tumbuhan dan yang mengurusi benih. Padahal kedua hal itu sangat berhubungan.


Banyak pemulia tetapi tidak ada benih kacau, ada benih tanpa pemulia mandek. Dari citra ibarat itu terlihat pertanian kita tidak sanggup maju. Ditambah lagi adanya oil boom. Waktu itu kita mendapat uang banyak dari hasil menjual minyak bumi. Sayang, uang itu tidak diinvestasikan ke arah pemuliaan tanaman. Justru dihabiskan dalam pembangunan jalan dan infrastruktur.


Thailand tidak mempunyai sumber minyak sehingga tidak mengalami oil boom. Namun, pada ketika bersamaan Thailand membantu Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Amerika Serikat boleh menyimpan alat-alat perang di sana. Imbalannya, warga Thailand diberi kesempatan menimba ilmu ke negara paman sam untuk mempelajari teknologi produksi, terutama benih.


Yang mereka pilih tidak lagi padi siem yang sudah sanggup diekspor ke mana-mana, melainkan tumbuhan hortikultura. Begitu pulang, hortikultura mulai dari breeding hingga industri benih dikembangkan di kawasan strategis. Perkembangan itu sangat didukung oleh kerajaan. Hasilnya kini Thailand kontinu mengekspor rambutan ke Hongkong, Taiwan, dan Korea. Durian monthong pun merajai pasar.


Begitu pertanian berorientasi komersial, maka yang berkembang tidak hanya breeding. Teknologi budidaya, pascapanen, pengemasan, transportasi, hingga pemasaran ikut berkembang. Itu sanggup berjalan dari hulu ke hilir kalau breeding jalan. Jika breeders sudah menghasilkan varietas yang sangat relevan dengan konsumen, maka menanam, memanen, pascapanen, hingga alhasil pengemasan, transportasi, dan pasar harus benar. Artinya diterima oleh konsumen. Kalau konsumen belum menerima, balik lagi ke penangkar untuk memperbaikinya.


Jadi, kalau kita ingin menilai maju tidaknya pertanian, lihat saja breeding-nya. Jangan melulu terpaku pada ekspor yang besar. Kalau kita sanggup ekspor pisang ke mana-mana tapi breeding tidak dikembangkan, suatu ketika niscaya mampet. Impor bibit pisang juga tidak jadi penyelesaian. Kalau breeding di luar juga tidak jalan, apa yang mau diimpor.


Sekarang breeding kita tidak berjalan. Kalau kita tanya mangga, siapa sih breeders mangga di Indonesia? Padahal setiap komoditas mestinya mempunyai breeders. Thailand kalau tidak mempunyai penangkar mustahil sanggup melaksanakan ekspor. Dari sini saja kita sudah kehilangan start, ketinggalan 20 tahun.


Tidak sanggup dipungkiri sebagian petani Indonesia sudah berorientasi komersial. Bob Sadino, pelaku agribisnis, contohnya harus memasok konsumen di Jepang yang meminta terung tertentu. Benih tidak sanggup dicari di sini alasannya ialah penangkarnya tidak ada. Akhirnya mesti mengimpor. Bagi saya dilema ketergantungan impor itu tidak masalah. Apa Bob Sadino dan pabriknya mesti mati alasannya ialah tidak mendapat pasokan benih dari dalam negeri?


Kalau teknologi petani sudah maju jangan dihambat. Petani sudah mencicipi kelebihan jagung bibit unggul yang sanggup menghasilkan 15 ton/ha jagung pipilan. Jangan dipaksa menanam jagung dalam negeri yang hasilnya hanya 5-6 ton/ha. Mereka sanggup berhitung.


 mangga yang disajikan di hotel bintang  Kunci Sukses Pertanian: BreedingMengapa impor benih komersial dipersulit padahal aneka macam yang sanggup memperbaiki mutu produk pertanian yang kita konsumsi? Mulai saya bayi hingga setua ini kangkung kita masih sama saja. Apa itu yang kita kehendaki untuk kemajuan pertanian kita? Bayam yang kita makan bergotong-royong wild spinach, saya dulu memetik di pinggir jalan untuk disayur. Itu sama dengan weed di Amerika. Kalau kita beli spinach, lain sekali rasanya.


Maka kita tidak sanggup menyalahkan orang-orang yang menggunakan bibit impor. Melon yang dijual sepanjang jalan Ciawi menuju Cianjur rasanya ibarat labu siem. Itu terang benih bibit unggul yang dibeli mahal dan diusahakan petani, kemudian hasilnya dicuri untuk ditanam lagi. Hasilnya jadi ibarat itu. Kenapa bukan itu yang dikritik? Benih tidak tergantung impor, tapi menipu konsumen. Itu lebih berdosa ketimbang orang yang bergantung pada impor.* (Prof Dr Ir Sjamsoe’oed Sadjad, pakar ilmu benih dan Guru Besar Emeritus IPB. Opini ini pernah dimuat di Majalah Trubus pada 2001).


Belum ada Komentar untuk "Kunci Sukses Pertanian: Breeding"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel