Nasib Pilar Keempat Demokrasi Indonesia
Tiga sekawan Fred S Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Scramm boleh melontarkan empat teori pers, tapi Indonesia tak pernah mengakui sebagai penganut satu di antaranya.
Pers Indonesia telah menyatakan diri bukanlah Authoritarian Press, Libertarian Press, Social Responsibility Press, dan Soviet Communist Press menyerupai yang mereka bertiga kemukakan dalam Fourth Theories of The Press.
Dalam sejarahnya, pers Indonesia telah mengalami keempat model pers ala tiga sekawan itu, bahkan semenjak “Memoria der Nouvells” surat kabar goresan pena tangan pertama yang terbit padad kurun ke-17 di era pendudukan Hindia Belanda. Pers authoritarian sempat singgah di tanahair pada masa keemasan VOC. Pun social responsibility press pernah diterapkan pada masa orde gres meski pada kenyataannya pemerintah terlampau represif menghadapi media, serta libertarian press terjadi pada awal era reformasi sebagai bentuk euforia pers pascalepas dari kekangan selama puluhan tahun.
Sementara soviet communist pers yang merupakan adonan libertarian dan social responsibility pers sempat juga diterapkan dalam satu dekade meski pada prakteknya tidak benar-benar memenuhi aturan yang disyaratkan. Namun, apapun teori yang dikemukakan, intinya konsep pers di Indonesia yaitu unik dengan banyak sekali dinamika isu, kebijakan pemerintah, hingga masyarakat yang melingkupinya.
Sebagai pilar keempat demokrasi, pers di Indonesia masih jauh dari harapan jurnalisme ideal ala Bill Kovach, tapi betapa dinamisnya media di tanahair yang selalu menarik untuk dikaji. Kesejahteraan wartawan sebagai profesi yang dipandang elit dan intelek belum juga memadai, mengingat masih ada perusahaan media yang membayar reporter di bawah UMR bahkan hingga detik Hari Pers Nasional (HPN) 2014.
Meski wakil ketua MPR Hajriyanto Y Thohari menilai pers nasional telah mengalami kemajuan secara kuantitas dan kualitas, sehingga sudah seharusnya mereka yang dilatih dengan baik, diberi peralatan yang baik, dan digaji dengan baik dan cukup. “Dalam konteks ini, maka sangat ironis bila masih ada pekerja pers yang digaji rendah, di bawah UMR, dan masih jauh sekali dari kesejahteraan minimal,” katanya. Padahal, pers masih menjadi pilar keempat demokrasi, dimana demokrasi akan besar lengan berkuasa manakala pers kuat.
“Pers yang besar lengan berkuasa yaitu pers yang didukung oleh nilai idealisme yang kuat, tidak berpihak kecuali pada kebenaran, perusahaan pers yang kuat, lingkungan budaya yang kondusif, situasi politik yang terbuka, dan pekerja pers yang profesional,” katanya. Akhirnya, wartawan yang belum jua sejahtera itulah yang menciptakan kaum terdidik itu kreatif, memutar otak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Amplop yaitu isu yang wajar, menggarap proyek-proyek instansi yaitu konsekuensi kedua, hingga menjalin sindikat penyeragaman konten (sindikasi berita) seringkali memaksa hal itu terjadi. Wartawan kemudian dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya menjalani pekerjaan sebagai profesi sekaligus sebagai buruh dari perusahaannya, moral dan perut yaitu pilihan yang sulit.
Pers Indonesia yaitu unik, memang tak bisa dipungkiri apalagi keberadaannya yang bukan pada ruangan hampa. Sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial yang berlaku di Indonesia menunjukkan efek yang positif terhadap pers. Dalam sejarah menjelang reformasi, contohnya pergolakan pers untuk membebaskan diri dari kungkungan rezim yang represif begitu keras luarbiasa.
Pers Indonesia menuntut ditegakkannya diri mereka sebagai pilar keempat demokrasi, watchdog, yang mengontrol jalannya pemerintah sesuai dengan namanya “press” yang berarti menekan. Namun hingga ketika itu kemudian terpenuhi, manusia pers sendiri yang mengingkari, memborgol tangan sendiri dan menyerahkannya kembali kepada pemerintah sebagai kawan pembangunan. Ini yaitu pola sindikasi media di level yang lebih tinggi ketika headline dan halaman dengan gampang diseragamkan dari sisi konten, satu komando untuk satu kepentingan terselubung.
Di sisi lain kini, pers di tanahair sedang menghadapi duduk kasus independensi dan objektifitas dalam politik pemberitaan dan pemberitaan politik. Bahkan, masyarakat dengan mudahnya bisa menyaksikan masuknya para penguasa media ke dalam ranah politik praktis. Isu kepemilikan media dan konflik kepentingan kemudian menjadi pekerjaan rumah ketika politik demokrasi yang sedang dipraktikkan di Indonesia yaitu politik yang menurut sistem pemilihan eksklusif dan demokrasi deliberatif.
Politik semacam itu terang sangat mengutamakan popularitas tokoh, mengarusutamakan pencitraan, dan mendewakan pembentukan opini, dimana kiprah media bukan hanya sangat besar, melainkan juga sangat menentukan. Di luar itu, pers kemudian dituntut untuk tetap tidak kehilangan nurani, independensi, dan obyektifitas dalam politik informasi dan informasi politik.
Ketua dewan perwakilan rakyat Marzuki Ali beropini pers harus bisa melihat dan mengedepankan kepentingan yang lebih besar.”Pers bebas namun bertanggung jawab, bisa melihat dan mengedepankan kepentingan yang lebih besar,” katanya.
Isu besar yang menjadi tantangan serius bagi pers Indonesia yaitu konglomerasi media besar-besaran. Pers yaitu industri yang sarat kepentingan sehingga conflict of interest, media ownership, kegiatan setting, hingga pembunuhan aksara bercampur menjadi satu wadah yang harus diemban pers merah putih. Setidaknya, pers di Indonesia telah mengambarkan pameo usang ala media mogul Rupert Murdoch, “Siapa yang menguasai media dialah penguasa dunia”.
Nyatanya, kehebatan media di tanahair dalam membentuk opini publik yang boleh jadi syarat dengan kepentingan tak diragukan lagi. Presiden SBY dalam akun twitternya menuliskan: “Kontrol pemilik media dan kekuasaan sama buruknya terhadap demokrasi,” menjadi cermin betapa pemerintah mengharapkan independensi pers.
Padahal kiprah pers di negara demokrasi sangat penting sebagai mediator dan penyampai informasi, tetapi monopoli dan konglomerasi media yang terpusat pada segelintir pihak menciptakan informasi yang disampaikan kepada masyarakat menjadi bias dan cenderung penuh deviasi. Hal itu berbahaya karena kiprah pers tidak hanya menjadi penyampai informasi namun juga harus menjadi kontrol sosial semoga kondisi masyarakat tetap terkendali sekaligus mengedukasi.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring setengah menuntut semoga idealisme pers jangan hingga dirusak oleh kalangan industri dan jangan dimanfaatkan untuk mendapat laba bisnis semata. “Kita harus mengingatkan kembali idealisme pers, jangan hingga dirusak oleh kalangan industri, yang dipikirkan hanya laba semata,” kata Tifatul.
Menurut Tifatul, ke depan sudah seharusnya pers Indonesia menjadi pers yang sehat demi mendukung rakyat yang berdaulat. Menteri sekaligus berharap semoga pers tidak menjadi alat politik bagi partai tertentu. Solusi kemudian ditawarkan, meski terdengar klise tapi pers perlu dikembalikan pada pondasi etik, hukum, dan kemampuan melaporkan yang baik. Pers harus berpegang teguh kepada peraturan baik itu undang–undang, ataupun kode etik jurnalistik yang sudah ada.
Di lain pihak, pemerintah juga harus turut andil dalam menata industri pers yang hanya dikuasai segelintir orang saja, jangan segan turun tangan untuk mengeluarkan peraturan wacana kepemilikan perusahaan pers. Bahkan, Amerika Serikat sebagai nenek moyang pers liberal pun mempunyai peraturan yang melarang monopoli kepemilikan media. Makara akankah pers Indonesia lebih Amerika dari Amerika itu sendiri? (Hanni Sofia).
Riwayat Penulis: Hanni Sofia yaitu master art of journalism dari Ateneo de Manila University. Saat ini ibu 3 anak itu yaitu pewarta ekonomi di desk ekonomi mikro mencakup kewirausahaan, pariwisata, ekonomi kreatif, koperasi, UKM dan tekno di Kantor Berita Antara di Jakarta. Perempuan yang sudah 9 tahun berkecimpung di dunia pers dan sangat menggemari jalan-jalan itu ketika ini yaitu kontributor www.bebeja.com.
Belum ada Komentar untuk "Nasib Pilar Keempat Demokrasi Indonesia"
Posting Komentar