Kebajikan Sang Kelelawar

 Tinggi lisan gua mencapai satu setengah kali tinggi tiang listrik Kebajikan Sang Kelelawar


Mulut Gua Petruk di Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen itu relatif besar. Tinggi lisan gua mencapai satu setengah kali tinggi tiang listrik. Sebab itu untuk memasukinya, tidak perlu membungkuk menyerupai ketika menyusuri lorong Gua Barat-berjarak satu kilometer ke selatan Gua Petruk-yang tinggi lisan gua 1,5 meter.


Hamparan feses terserak di sepanjang anutan sungai di sisi dalam lisan Gua Petruk. Pantas ketika berada di erat sungai selebar 10 m itu basi kotoran binatang terendus tajam. Feses berwarna cokelat kehitaman itu kotoran kelelawar alias guano. Saat mencoba menjejakkan kaki di atas hamparan feses ini, kaki menyerupai menginjak busa. Empuk. Maklum ketebalan feses kelelawar itu mencapai setengah tinggi pulpen.


Guano itu sarat collembola, diplopoda menyerupai cacing berukuran amat mungil, sekitar 0,5 cm. Collembola masuk ke dalam gua lantaran terbawa banjir. Di dalam gua ia menemukan sumber pakan melimpah berupa guano. Maka dari itu sebuah gua tanpa kelelawar, jumlah populasi binatang ini sedikit.


Koloni si kampret-sebutan kelelawar di Jawa-terlihat sehabis menyusuri lorong gua Petruk sejauh 50 meter. Di bawah sorot head lamp puluhan Chaerophon plicata berdesakan di langit-langit gua tanpa stalaktit-ornamen gua dari kalsium karbonat berbentuk meruncing. Kaki-kaki mereka mencengkeram berpengaruh langit-langit gua dengan posisi kepala di bawah.


Sosok kampret gua kecil dan langsing. Besarnya seukuran bola tenis. Ukuran itu rupanya terkait sumber pakan. Mereka ialah jenis pemakan serangga. Tubuhnya kecil lantaran ia harus bisa bergerak cepat. Mangsanya sebagian besar serangga menyerupai nyamuk, kumbang, dan kupu-kupu. Chaerophon di Gua Petruk diketahui pula menyantap hama wereng.


Berapa yang dimakan? Sangat banyak. “Seekor kelelawar sanggup memakan hingga 500 ekor serangga semalam,” ujar Agustinus, peneliti kelelawar di LIPI Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Riset di Amerika Serikat menyebutkan koloni satwa nokturnal-aktif pada malam hari-berpopulasi 10.000 ekor memakan hingga 5-juta serangga semalam. Bayangkan bila sebuah koloni mencapai jutaan ekor menyerupai di Texas, Amerika Serikat. Di sana 20-juta Tadarida brasiliensis memakan 6.600 ton serangga setahun. Jumlah itu 4 kali lebih besar dari bobot kapal perang hovercraft terbesar di dunia milik Rusia.


Ada yang menarik ketika menyaksikan kampret penghuni Gua Petruk: chaerophon, hipposideros, dan rhinolophus dijala. Begitu sekawanan kampret dihela terbang, kampret-kampret itu menghindar ke sana ke mari. Namun yang luar biasa, di antara mereka tidak ada satu pun saling bertabrakan, apalagi hingga membentur dinding gua. Padahal dalam lorong sempit dan gelap gulita itu mereka terbang tak keruan.


Tragus, cuping pendengaran di kedua pendengaran kampret berfungsi mendeteksi benda-benda di sekitarnya. Cara kerjanya menyerupai radar pesawat atau sonar kapal selam. Suara atau gelombang dilontarkan pada frekuensi tertentu kemudian gemanya ditangkap kembali.


Pada kampret cara ini disebut ekholokasi, mendeteksi lewat telinga. Ia dianugerahi kemampuan itu lantaran selain buta warna, ukuran matanya kecil sehingga benar-benar mengandalkan telinga. Layaknya radar, bentuk pendengaran si kampret ini lebar dan tinggi ketimbang kelelawar pemakan buah. Pantaslah dengan kemampuan menyerupai itu para kampret tidak saling bertabrakan.


Kampret memancarkan frekuensi sangat tinggi-ultrasonik-sekitar 50 Kilohertz; insan 3-18 Kilohertz. Dengan kemampuan ekholokasi seekor kampret sanggup mengukur jarak dan ukuran benda. Toh para andal kelelawar dunia sejauh ini belum bisa memahami cara kerja otaknya yang sanggup cepat mendeteksi benda dalam hitungan sepersekian detik, tak hanya terhadap mangsa, tapi juga sesama rekan kampret ketika terbang.


Dunia mencatat ada sekitar 977 jenis kelelawar. Jumlah itu kedua terbesar sehabis kelompok pengerat (rodentia). Di Indonesia ada sekitar 205 jenis dari 53 famili menyerupai Pteropopidae, Megadermotidae, dan Rhinolophidae. Dari jumlah itu 72 jenis merupakan pemakan buah dan 133 jenis pemakan serangga. Pemakan serangga tak melulu menetap di gua, 50% menentukan tinggal di pepohonan. Demikian pula pemakan buah, 80% tinggal di pohon, sisanya berumah di gua. Guano di Gua Petruk berasal dari kalong-sebutan kelelawar pemakan buah-yang menetap tak jauh dari lisan gua.


 Tinggi lisan gua mencapai satu setengah kali tinggi tiang listrik Kebajikan Sang KelelawarSejatinya, sumbangsih kampret sangat besar. Guano hanya salah satunya. Feses kaya fosfat, natrium, dan kalsium itu dimanfaatkan oleh insan sebagai pupuk. Di luar itu tugas utama kelelawar ialah pemencar biji dan penyerbuk bunga. Banyak biji yang dipencarkan kelelawar menyerupai beringin karet, keluwih, sawo, dan srikaya. Pun sebagai penyerbuk bunga durian, petai, pisang, dan randu.


Sebagai pemencar biji, kelelawar mengambil buah kemudian mengunyah daging untuk mengambil cairannya. Bagian serat buah disepah, kemudian bijinya dibuang. Kalong berukuran kecil tidak makan di pohon induk, tapi membawa buah itu terbang ke pohon lain sejauh 100-200 meter. Yang ukuran besar menyerupai lalai kapuk Pteropus vampyrus sanggup terbang sejauh 60 km. Semakin jauh biji dipencarkan di banyak sekali tipe habitat, semakin banyak varian pohon itu.


Menurut Agustinus, riset membuktikan Agave palmeri yang ditutupi kain kasa dengan lubang sebesar 1,5 mm, cukup untuk meloloskan kupu-kupu, hanya menghasilkan maksimal 4,88% setara 3.800 biji dari 780.000 bakal biji. Jumlah itu meningkat di atas 50% ketika kelelawar menyerbuki. Tak hanya menyerbuki, beberapa jenis kampret menyukai madu.


Bila pemakan serangga dan pemakan buah diberi keistimewaan pendengaran dan mata, khusus pemakan madu ini punya keunggulan moncong dan pengecap panjang. Contohnya codot bunga australia Syconycteris australis. Panjang pengecap jenis ini mencapai 2 kali panjang moncong. Dalam keadaan diam, pengecap itu terlipat ke dalam, tapi begitu menjilat madu, pengecap itu terjulur panjang menyerupai burung kolibri pengisap madu.


Sayang, meski jasanya besar bagi kehidupan makhluk lain, hidup kampret banyak terancam. Populasinya terus merosot dari waktu ke waktu. Kebakaran hutan, penebangan hutan, hingga diburu sebagai masakan dan obat merupakan beberapa alasannya utama. Itu di luar para predator alami menyerupai elang, ular, dan burung hantu. Contoh Gua Lawa di Kabupaten Purbalingga. Penyebutan nama gua yang mengacu pada nama setempat kelelawar itu sekarang kosong melompong dari kelelawar. Penyebabnya rusaknya habitat dan perburuan merajalela.


Padahal kampret sanggup menjadi indikator pencemaran udara paling top, terutama timbal (Zn). Kelelawar Eptesicus, misalnya, memiliki LD50 (lethal dosis, kadar setengah yang mengakibatkan kematian) sebanyak 40 mg/kg bobot tubuh. Itu lebih peka 10 kali dibandingkan binatang percobaan lain, tikus dan kelinci.


Meskipun sanggup menjadi sumber penularan beberapa penyakit menyerupai rabies, leptospirosis, dan salmonellosis, masyarakat di Wattansoppeng, Sulawesi Selatan, sangat menghormati para kelelawar yang tinggal di pohon asam. Apabila kampret-kampret itu meninggalkan kota, menunjukan menjelang kekeringan panjang. Sebab itu pula pemerintah kawasan setempat mengeluarkan larangan untuk menangkap sang kampret. Itu lantaran kebajikan sang kelelawar (Dian Adijaya Susanto).


 Tinggi lisan gua mencapai satu setengah kali tinggi tiang listrik Kebajikan Sang KelelawarRiwayat penulis: Penulis pernah menjabat Redaktur di Majalah Pertanian Populer, Trubus. Beberapa rubrikasi menyerupai sayuran, obat tradisional, satwa dan ikan, serta eksplorasi pernah diasuhnya. Penulis yang merupakan alumnus Program Pascasarjana Universitas Indonesia dalam Biologi Konservasi itu juga pernah menangani Unit Pengembangan Bisnis dan Promosi jaringan Pemasaran Pertanian dan menjadi konsultan. Korespodensi: dianadijaya17@gmail.com.


Belum ada Komentar untuk "Kebajikan Sang Kelelawar"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel