Potret Bisnis Telur Puyuh

Puluhan bakul bersepeda itu tiba dan berkumpul di satu tempat. Mereka menunggu kedatangan kendaraan beroda empat pembawa telur puyuh dari Yogyakarta. Saat kendaraan beroda empat datang, 220.000 telur puyuh segera berpindah tangan. Melalui bakul-bakul itu perjalanan telur puyuh berlanjut ke aneka macam sudut kota.


Itulah pemandangan pagi hari di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur sekitar 20 tahun lalu. Kebutuhan besar telur puyuh di kabupaten seluas 1.812 km2 itu pula yang mendorong tumbuhnya peternak puyuh lokal menyerupai di Desa Datinawong, Kecamatan Babat. Bahkan seiring waktu warga Desa Datinawong mulai menggantungkan hidup dari beternak puyuh, selain kerajinan mainan anak.


Kondisi itu mulai meredup seiring krisis ekonomi pada 1998. Harga pakan melonjak tajam mencapai Rp125.000 per 25 kg. Normalnya harga pakan itu tak lebih dari Rp30.000. Wajar efeknya besar, sejumlah peternak gulung tikar. Saat itu tetasan puyuh umur sehari atau DOQ (Day of Quail) yang dibagikan gratis pun tidak ada yang mau.


Imbas bencana itu, tidak hanya dijumpai di Lamongan, tapi juga melebar ke pusat puyuh lain menyerupai di Yogyakarta dan Sukabumi, Jawa Barat. Namun memasuki 2000-an, beberapa peternak di sentra-sentra itu mulai bangkit. Mereka memulai memelihara puyuh skala kecil dengan populasi sekitar 2.000 ekor. Dari jumlah itu rata-rata sanggup dipanen 1.500 telur/hari dengan harga jual Rp60-65/butir.


Sampai medio 2005, peternak puyuh terus tumbuh. Siswanto di Yogyakarta, contohnya sanggup memanen sampai 2.000 telur dari populasi 2.500 puyuh. Ia merawat puyuh di 9 sangkar berukuran 4 m x 0,3 m x 0,4 m. Omzet higienis penjualan sesudah dipotong biaya produksi sekitar Rp2-juta/bulan. Siswanto memasok pasar di Yogyakarta dan sesekali mengirim ke Bandung dan Cirebon. Untuk luar kota, rata-rata mencapai 300 dus dengan setiap dus berisi 750 telur.


Siswanto juga memperoleh pasokan dari 7 peternak lain untuk menjamin kontinuitas. Saat itu pasar di luar Pulau Jawa menyerupai Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Bali belum tergarap. Pendapatan Siswanto bertambah setahun sesudah memelihara puyuh karena puyuh memasuki masa penurunan produksi alias apkir. Harga puyuh apkir mencapai Rp1.200-Rp1.500/ekor. Pasarnya rumahmakan dan restoran penyedia sajian puyuh.


Sejatinya, budidaya puyuh di Indonesia berlangsung semenjak 1970-an seiring perkembangan peternakan ayam ras petelur. Sayang, perkembangan selanjutnya stagnan karena aneka macam faktor menyerupai bobot telur puyuh kecil, hanya 10-12 gram/butir atau 1/5 dari bobot telur ayam.


Dengan kondisi itu sulit bagi telur puyuh memenuhi kebutuhan industri roti, kue, dan penganan lain. Pemanfaatannya hanya sebagai adonan sup atau sajian sate di warung bubur ayam dan angkringan. Belum lagi kondisi fisik telur rapuh alasannya berkulit tipis. Itu berdampak pada  cara kemas, terutama pengiriman jarak jauh.


Meski begitu, beternak puyuh tetap mempunyai keunggulan menyerupai sanggup diusahakan di lahan sempit. Peternak sanggup membudidayakan puyuh di lahan 20 m2 dengan populasi 2.000-2.500 ekor. Bayangkan populasi sama untuk ayam ras petelur, butuh sampai 20-30 kali luasan sama. Sudah begitu investasi puyuh juga rendah.


Ongkos pembuatan sangkar kapasitas 1.000 ekor sekitar Rp700.000. Untuk puyuh siap telur harga Rp4.000-Rp5.000 tergantung kualitas penangkar. Singkat kata, untuk beternak 1.000 puyuh butuh modal sekitar Rp9-juta-Rp10-juta selama setahun. Dengan masa bertelur sampai 12 bulan, dari 1.000 ekor dengan produksi 750 telur/hari, total jenderal sanggup dipanen sekitar 273.000 telur.


Dengan harga jual minimal Rp60/butir, peternak sanggup meraup omzet Rp16,3-juta/tahun. Itu belum menghitung pendapatan lain dari penjualan burung apkir sebesar Rp2,4-juta dengan perkiraan minimal harga Rp1.200/ekor.


Belum ada Komentar untuk "Potret Bisnis Telur Puyuh"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel