Borneo Hutan Tersisa
Kalimantan atau lebih dikenal sebagai Borneo yaitu pulau ketiga terbesar di dunia, menyelimuti wilayah seluas 743.330 kilometer persegi (287.000 mil persegi), atau sedikit lebih dari dua kali luas Jerman.
Secara politis, pulau ini terbagi antara Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Borneo Indonesia dikenal dengan Kalimantan, sementara Borneo Malaysia dikenal dengan Malaysia Timur. Nama Borneo sendiri berasal dari tumpuan Barat awal yang dipakai oleh Belanda pada masa pemerintahan kolonial terhadap pulau tersebut.
Secara geografi, pulau ini terbagi menjadi dataran tinggi tengah yang memanjang diagonal dari kota Sabah (Malaysia) di timur maritim Borneo ke barat daya Borneo, secara agresif membentuk batas antara Kalimantan Barat dan Tengah (Indonesia). Dataran tinggi ini bukan pegunungan berapi-di seantero Borneo, hanya terdapat satu gunung berapi yang telah mati-tapi merupakan gunung paling tinggi di Asia Tenggara: Gunung Kinabalu di Sabah, yang tingginya mencapai 4.095 meter (13.435 kaki).
Hutan-hutan di Borneo yaitu beberapa hutan yang mempunyai keanekaragaman hayati paling banyak di planet ini. Menurut WWF, pulau ini diperkirakan mempunyai setidaknya 222 spesies mamalia (44 darinya khas), 420 burung yang menetap (37 khas), 100 amphibi, 394 ikan (19 khas), dan 15.000 flora (6.000 khas)-lebih dari 400 dari yang telah ditemukan semenjak tahun 1994. Survey menemukan lebih dari 700 spesies pohon di lahan 10 hektar-sebuah angka yang sama dengan jumlah pohon di Kanada dan Amerika Serikat, digabung.
Hutan dipterokarpa di dataran rendah di Borneo merupakan hutan yang paling bermacam-macam penghuninya dan paling terancam (68% dataran rendah telah ditebangi di Kalimantan, 65% di Malaysia). Pepohonan raksasa ini, biasanya lebih tinggi dari 45 meter, yaitu sumber kayu-kayu yang paling bernilai di Borneo dan telah ditebangi dengan buasnya selama 3 dekade ini. Langner dan Siegert (2005) memperkirakan bahwa hanya kurang dari 30 juta hektar hutan dipterokarpa dataran rendah yang tersisa di Borneo pada 2002.
Meratanya dipterokarpas ini memperlihatkan hutan-hutan Borneo dinamika tak biasa yang sangat terkait dengan fenomena atmosfer kelautan yang dinamakan El Nino-Southern Oscillation (juga dikenal sebagai ENSO atau “El Nino”). Menurut Lisa Curran, seorang biologis yang menghabiskan lebih dari 20 tahun di Borneo dan kini menjadi andal terkemuka ihwal sejarah alam pulau tersebut, reproduksi dipterokarpa sangat tak mungkin dilepaskan dari datangnya El Nino, dengan 80-93% dari spesiesnya menyamakan dikala berbunga mereka dengan kondisi cuaca kering, yang biasanya muncul dalam jangka waktu 4 tahunan.
Selama tahun dipterokarpa tersebut di Kalimantan, kanopi-kanopi menjadi berwarna-warni, seiring ribuan pepohonan dipterokarpa-tiap pohonnya mungkin mempunyai 4.000 bunga-berbunga selama masa 6 minggu, secara bergantian menciptakan lapar dan menimbuni pemakan bibit, sampai paling tidak sebagian bibit selamat sampai masa pengecambahan.
Berbunga secara massal dan diikuti dengan demam isu berbuah-yang telah diketahui akan sama dalam wilayah seluas 150 juta hektar (370 juta acre) dan melibatkan 1.870 spesies-adalah anugerah bagi para pemakan bibit, termasuk babi hutan yang merupakan pemakan bibit utama dalam ekosistem.
Bibit dan babi hutan sangat lazim ditemui pada masa ini, sampai penduduk lokal melihat datangnya El Nino sebagai masa makmur, dikala untuk memanen kacang Illipe untuk diekspor atau mengenyangkan diri dengan daging babi. Hubungan tersebut telah terjalin setua insan telah tinggal di Borneo dan telah mengakar pada budaya masyarakatnya, mulai dari suku pedalaman sampai pedagang pesisir.
Namun, di beberapa tahun terakhir, sistem ini tampaknya telah mulai terputus akhir perubahan penggunaan tanah. Dr Curran, yang dianugerahi MacArthur Genius Award 2006 berkat penelitiannya di area ini, menyampaikan bahwa penebangan pohon yang intensif ini telah dibayar mahal oleh siklus reproduksi ini.
Curran menemukan bahwa produksi bibit ini jatuh dari 175 pon per acre pada 1991 sampai 16,5 pon per acre pada 1998, meski dikala itu merupakan masa tahun El Nino terparah berdasarkan catatan. Sepertinya penebangan hutan telah mengurangi kepadatan lokal dan biomassa dari pepohonan remaja di bawah ambang kritis.
Lebih lanjut, pengenalan kebakaran pada kawasan yang sebelumnya tak mempunyai pengalaman terbakar, telah memperburuk tekanan kekeringan dan menjadikan transformasi radikal pada ekologi hutan. Saat ini, tahun el Nino tak lagi merupakan tahun kemakmuran. Seperti yang dikatakan Curran dikala berkunjung ke California, El Nino telah menjadi penghancur yang hebat, bukannya pemberi yang agung. Perubahan penggunaan tanah telah merusak apa yang dulunya merupakan ekosistem yang terkait dekat (Rhett A. Buttler dari Mongabay.com, Borneo: Profil Lingkungan).
Belum ada Komentar untuk "Borneo Hutan Tersisa"
Posting Komentar