Sidat Lokal Jadi Kabayaki
Saban tahun setiap Juli terdapat hari yang selalu ditunggu warga Jepang. Dialah hari do you no ushi no hi.
Bukan tanpa musabab hari tersebut menjadi hari idaman di dikala Jepang memasuki demam isu panas. Saat itu merupakan kalender tahunan bagi hampir seluruh warga Jepang untuk menikmati bermacam-macam olahan sidat, terutama sidat panggang atau unagi kabayaki.
Budaya menyantap sidat panggang setiap demam isu panas itu berdasarkan Shoji Takaoka dari Restaurant Express Co.Ltd, Jepang, sudah berlangsung semenjak 1750 biar stamina badan fit. Catatan tertua mengenai makanan sidat sendiri termaktub dalam Man’you-shuu, sebuah buku puisi kurun ke-8.
Tidak hanya lezat, Prof Dr Rokhmin Dahuri MS, Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebutkan sidat kaya nutrisi. Sidat mempunyai kandungan EPA (eicosapentaenoic acid) sebesar 1.337 mg/100 gram. Jumlah itu di atas salmon (820 mg/100 gram). Selain itu, kandungan DHA (docosahexaenoic acid) sidat juga tinggi, 742 mg/100 gram; salmon (492 mg/100 gram). EPA dan DHA merupakan asam lemak esensial yang terkenal disebut omega 3. EPA dan DHA sanggup mencegah serangan jantung serta meningkatkan imunitas tubuh.
Beragam hidangan sidat pun hadir dikala demam isu panas itu. Menurut Shoji, hidangan itu antara lain shiroyaki atau sidat bakar polos. Potongan sidat itu disantap bersama wasabi, kecap asin atau irisan lobak. Gigitan daging sidat panggang tersebut begitu lembut dan ringan di mulut. Menu lain yaitu umaki berupa dadar telur dengan isi shiroyaki atau kabayaki. Atau uzaku, berupa acar dengan potongan sidat dan mentimun.
Tidak hanya variasi menu, cara pengolahan sidat berdasarkan Shoji beraneka. Yang terkenal dengan cara membelah sidat, kemudian kepala dan tulang disingkirkan. Selanjutnya daging ditusuk dan dipanggang.
Cara membelah sidat juga beragam. Orang kanto yang dipengaruhi budaya samurai menghindari membelah sidat mulai dari perut. Itu alasannya yaitu kemiripan dengan tradisi harakiri atau bunuh diri dengan cara merobek perut. Cara yang mereka tempuh yaitu membelah sidat dari penggalan punggung. Cara berbeda dilakukan warga Kansai dengan membelah sidat dari perut.
Pengolahan sidat mempunyai cara tersendiri. Di Kanto, sidat dikukus terlebih dulu sampai matang sebelum dipanggang. Tujuannya untuk mengurangi kandungan lemak. Mafhum saja sewaktu dikukus, kandungan lemak menjadi jauh berkurang. Sementara itu di Kansai, sidat eksklusif dipanggang tanpai dikukus terlebih dahulu. Walhasil sidat panggang ala Kansai lebih berlemak di Kanto.
Sejatinya kelezatan kabayaki tidak hanya dinikmati di Jepang. Di tanahair pun bermacam-macam restoran jepang menyajikan olahan kabayaki. Sebut saja sebuah restoran di hotel berbintang lima di tempat Jakarta Pusat. Di sana potongan kabayaki disajikan dengan tumis kol dan acar. Harganya Rp250.000-Rp400.000/porsi. Sumber sidat restoran tersebut masih impor. Padahal sidat lokal menyerupai Anguilla bicolor berpeluang menjadi materi baku olahan kabayaki.
Sebut saja pengalaman Helmi Sukantiyo, peternak sidat di Purwokerto, Jawa Tengah yang memasarkan olahan kabayaki dari A. bicolor dalam program Japan Food Expo. Respon pengunjung luarbiasa dan banyak mengakui citarasa kabayaki tidak berbeda dengan A. japonica yang selama ini lazim diolah di Jepang.
Menurut Tetuko Ragil Prasetyo, koki kabayaki di Purwokerto, biar kualitas olahan kabayaki sip perlu materi baku sidat berkualitas. Sidat mesti bebas basi tanah. Yang lain kadar lemaknya harus cukup supaya tidak lekas gosong ketika diolah menjadi kabayaki. Kualitas lainnya, tekstur daging sidat lembuk dan empuk.
Supaya sidat berkadar lemak cukup, pakan budidaya sidat juga perlu berkadar lemak 20%, 45% protein, 15-18% karbohidrat. Lewat pengolahan dan budidaya tepat, sidat lokal tidak kalah dengan sidat orisinil Jepang untuk menjadi kabayaki.
Belum ada Komentar untuk "Sidat Lokal Jadi Kabayaki"
Posting Komentar