Melirik Bisnis Singkong
Sejak 2000 kebutuhan singkong cenderung meningkat. Industri olahan singkong menyerupai keripik, tepung singkong, sampai bioetanol, terus tumbuh. Sebuah industri tepung tapioka di Sukabumi, Jawa Barat, contohnya memerlukan 10 ton singkong saban hari sebagai materi baku. Padahal bukan hanya pasar lokal yang perlu, pasar mancanegara juga butuh banyak.
Data Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) mengatakan kebutuhan pasar mancanegara itu. Korea Selatan, misal memerlukan 700.000 ton tepung singkong dan Taiwan butuh 500.000 ton/tahun serat singkong. Tingginya kebutuhan itu menciptakan harga singkong stabil pada kisaran Rp800-900/kg di pekebun. Padahal sampai 2008, harga singkong tertinggi Rp500/kg.
Jenis singkong yang banyak dikembangkan ketika ini yaitu manggu. Dengan jarak tanam 1 m x 1 m setiap hektar sanggup memuat 10.000 batang. Setelah perawatan selama 10 bulan, diperoleh panen 60 ton/ha.
Komponen biaya terbesar pada budidaya singkong yaitu bibit dan pemupukan. Total jenderal, keduanya menyerap 30% dari biaya budidaya. Biaya perawatan per tanaman/tahun rata-rata berkisar Rp3.000-Rp3.500.
Fakta di lapangan ketika ini banyak investasi singkong ditawarkan sebab peluang kebutuhan yang disebutkan di atas sangat besar. Sebagai gambaran, meski produksi singkong di Indonesia pada 2012 mencapai 35-juta ton dari 1,2-juta lahan, Indonesia masih mengimpor 2-juta ton singkong dari Thailand.
Meski demikian, tetap perlu hati-hati ketika menanamkan investasi pada bisnis singkong. Harap mafhum, harga singkong berfluktuasi, bahkan sanggup terjun bebas ketika panen raya. Sebab itu, calon investor harus memperhatikan angka Return of Investment (ROI). Investasi disebut menarik bila nilai ROI lebih besar daripada suku bunga bank sekitar 7,1%. Nilai ROI untuk investasi singkong idealnya di atas 15%.
Belum ada Komentar untuk "Melirik Bisnis Singkong"
Posting Komentar