Walet 17: Potret Bisnis Sarang Walet
Dua tahun mendatang, harga sarang walet diprediksi meningkat. Prediksi itu disampaikan oleh Boedi Mranata, ketua bidang perdagangan Asosiasi Peternak dan Pedagang Sarang Walet Indonesia (APPSWI).
Sebelum medio 2011, harga sarang walet berkualitas mencapai Rp15-juta-Rp16-juta/kg. Saat ini, harga menurun menjadi Rp5-juta-Rp6-juta/kg. Boedi memperkirakan akan terjadi kenaikan harga sekitar 30-50% dari harga sekarang, tapi sulit untuk mencapai harga pada awal 2011.
Prediksi itu menurut suatu keyakinan, bahwa dalam dua tahun ke depan, Indonesia sudah bisa memenuhi persyaratan ekspor ke China dan perdagangan mulai lancar. Jatuhnya harga semenjak dua tahun ini alasannya yakni kebijakan China yang menghentikan impor sarang walet. Sebab itu, banyak pelaku bisnis sarang walet di tanahair skeptis dan melihat masa depan perdagangan walet suram. Padahal dahulu, jumlah produksi sarang tidak mencukupi permintaan.
Namun, kini keadaan berubah. Konsultan walet di Kelapagading, Jakarta Utara, Harry K Nugroho MBA, mengatakan, ekspor menjadi tersendat dan banyak stok sarang menumpuk yang sulit untuk diekspor. Imbasnya cukup besar. Volume ekspor sarang walet yang awalnya mencapai 400 ton/tahun kini terus menurun.
Beberapa peternak menyerupai Syarifudin, pemilik rumah walet di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, menghentikan panen hingga harga membaik. Terhambatnya bisnis sarang walet alasannya yakni inovasi kadar nitrit di sarang yang di atas ambang Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat sebesar 200 ppm. Pembentukan nitrit terjadi secara alami pada sarang walet atau pada komoditas lain menyerupai sayuran. Kadar nitrit yang tinggi membahayakan kesehatan tubuh alasannya yakni bersifat karsinogen atau memicu kanker.
Tingginya kadar nitrit pada sarang walet biasanya terjadi di rumah walet renta yang jarang dirawat dan dibersihkan. Sarang-sarang tetesan mempunyai kadar nitrit yang lebih tinggi daripada sarang buang telur. Seharusnya, konsentrasi nitrit sanggup diturunkan drastis sewaktu proses pencucian sebelum sarang diekspor. Pihak China memilih standar batas nitrit, maksimum 30 ppm. Itu upaya China supaya yakin atas mutu sarang walet yang dibeli.
Negeri Tirai Bambu itu juga menginginkan isu yang lengkap mengenai asal rumah tempat walet itu dibudidayakan (traceability). Intinya jikalau terjadi kasus yang membahayakan konsumen, China sanggup menelusuri mulai dari eksportir, pengolah sarang, hingga kerumah walet. Hal penting lain, memastikan sarang walet dipanaskan dengan panggangan sebelum diekspor supaya bebas dari virus flu burung dan penyakit lain.
Karena adanya persyaratan ketat untuk ekspor ke China, maka diharapkan perjanjian khusus antara pemerintah Indonesia dan China. Untuk itu, ada upaya-upaya sangat intensif di Indonesia yang dilakukan dengan mempererat kerjasama antara departemen pertanian, departemen perdagangan, dan APPSWI.
Pada awal April 2012 perjanjian perdagangan sarang walet bisa ditandatangani kedua negara. Pada tahap pelaksanaannya, perusahaan yang ingin mengekspor sarang walet ke China harus lulus syarat tertentu yang ditentukan oleh pihak Indonesia dan China.
Sebelum barang dikirim, dilakukan investigasi ketat dari tubuh karantina Indonesia. Sesampainya di China, tubuh karantina setempat akan menyelidiki ulang kembali.
Sebenarnya sudah terdaftar 8 eksportir walet Indonesia yang lulus persyaratan dari pemerintah Indonesia. Namun, semua eksportir tersebut belum ada yang diuji oleh pihak China. Posisi Malaysia lebih manis dari Indonesia alasannya yakni telah 9 eksportir dinyatakan lulus oleh pihak China dan Malaysia. Diharapkan Malaysia bisa segera mengekspor ke China.
Menurut Harry, penurunan harga dan kuantitas ekspor sarang burung walet telah membuat suasana tak nyaman bagi investor walet. Banyak pembangunan rumah walet di kawasan berhenti, bahkan sebagian pemilik rumah walet merombaknya menjadi rumah toko. Peternak besar Collocalia fuciphaga di Medan, Sumatera Utara, Johannes Siegfried, mengemukakan hal serupa: Imbasnya hingga ke peningkatan jumlah pengangguran.
Harry menjelaskan, ketika inilah bahwasanya kesempatan besar memperluas pasar. Orang yang sebelumnya tidak bisa membeli produksi sarang walet akan menjadi konsumen baru. Oleh alasannya yakni itu, masa depan perdagangan si liur emas masih berpeluang asalkan memenuhi persyaratan importir.
Johannes Siegfriend menuturkan, bahwa perdagangan walet ketika ini dan ke depan tidak semudah dulu. “Kita berharap semua mata rantai bisnis sarang walet dan pemerintah menjadi kesatuan visi untuk mengembalikan kondisi perdagangan menyerupai sediakala,” katanya. Itu supaya Indonesia tetap menjadi produsen walet terbesar di masa mendatang (Selena Mranata).
Harga sarang walet:
2011: Juni (Rp15-juta/kg), Juli (Rp14-juta/kg), Agustus (Rp13-juta/kg), September (Rp12-juta/kg), Oktober (Rp9-juta/kg), dan November (Rp8-juta/kg).
2012: Januari (Rp7-juta/kg), Februari (Rp6,5-juta/kg), April (Rp6-juta/kg), Juni (Rp5,5-juta/kg), Agustus (Rp5,5-juta/kg), dan Desember (Rp5,5-juta/kg).
2013: Februari (Rp5,5-juta/kg), April (Rp5,5-juta/kg), Juni (Rp5,5-juta/kg), dan Agustus (Rp5,5-juta/kg).
Riwayat penulis: Penulis yakni mahasiswa tingkat simpulan Jurusan Biologi bidang Ekologi, Evolusi, dan Konservasi dari University of Washington, Amerika Serikat. Tulisan mengenai bisnis walet tersebut pernah dimuat di Majalah Pertanian Trubus edisi Oktober 2013 dengan judul: Prediksi 2015 Harga Naik. Penulis yang hobi memasak kue, membaca buku, jogging, serta bermain bersama bawah umur itu mempunyai motto: pengetahuan yakni kekuatan.
Belum ada Komentar untuk "Walet 17: Potret Bisnis Sarang Walet"
Posting Komentar