Iles-iles Tak Kenal Maka Tak Sayang
Tak banyak yang mengenal iles-iles Amorphophallus muelleri. Padahal iles-iles yang disebut porang, ponang (Jawa), kruwu, lorkong, labing, subeg leres, subeg bali (Madura dan Bali), acung, cocoan oray (Sunda), dan badur (Nusa Tenggara Barat) itu merupakan materi pangan.
Sejatinya, masyarakat lokal sudah mengetahui iles-iles semenjak zaman penjajahan Jepang. Sayang hingga ketika ini budidaya jenis umbi dari keluarga Araceae itu belum banyak dilakukan.
Harap mafhum, banyak pelaku bisnis beranggapan tanaman orisinil Afrika Barat tersebut tidak layak jual. Padahal, dia diharapkan oleh industri makanan dan obat. Tanaman tersebut bermanfaat sebagai materi pengikat tablet obat, zat pengental sirup dan sari buah, agar-agar serta jeli. Yang disebut terakhir di Jepang disebut sebagai konyaku.
Belum lagi industri mi sehat. Di negeri Matahari Terbit iles-iles merupakan materi dasar pembuatan shirataki, semacam mi dicampur wortel, cabai, dan nasi. Rasanya? Wow sangat lezat. Belakangan shirataki sudah dimodifikasi menjadi siap saji sehingga lebih gampang dipasarkan. Harganya? Untuk kemasan isi 12 kg mencapai Rp480.000.
Selama ini sumber iles-iles berasal dari hutan. Itu sebab iles-iles butuh naungan (sinar matahari 40%) biar sanggup memproduksi umbi. Bila dibudidaya intensif, 1 hektar lahan sanggup dipanen 10-12 ton umbi iles-iles.
Dengan harga jual Rp2.000/kg (bobot minimal 1 kg), tanaman yang seringkali dirawat seperlunya itu sanggup memberi pendapatan Rp20-juta per 2,5-3 tahun. Secara hitungan hemat memang tidak terlalu besar. Sebab itu pula banyak pekebun menentukan memanen ketika umbi berumur setahun dan mencapai bobot rata-rata 800 gram.
Belum ada Komentar untuk "Iles-iles Tak Kenal Maka Tak Sayang"
Posting Komentar