Potret Bisnis DOC Ayam Kampung
Pamor ayam kampung pedaging terus mencorong semenjak 2010. Citarasa daging yummy dan gurih yang mengungguli ayam ras, membuatnya disukai. Banyak rumahmakan dan restoran dengan 95% pengunjung warga menengah ke atas, menyajikan hidangan ayam kampung.
Secara nasional, konsumsi daging unggas masyarakat Indonesia mencapai 7 kg/kapita/tahun dengan produksi pada 2009 mencapai 282.692 ton. Konsumsi itu lebih rendah dibandingkan negara tetangga menyerupai Malaysia (36,7 kg) dan Thailand (13,5 kg).
Data Statistik Konsumsi Pangan 2012 oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian memperlihatkan, pada kurun 2007-2011, konsumsi daging ayam kampung secara nasional berkisar 0,521-0,678 kg/kapita/tahun.
Pantas beternak ayam kampung bagi Kunto Anggoro di Batam, Kepulauan Riau begitu menjanjikan. Dengan populasi 5.000 ekor yang dibesarkan di 3 sangkar masing-masing seluas 500 m2, Kunto kewalahan memenuhi ajakan rumahmakan dan hotel. Pria 40 tahun itu hanya sanggup memasok 500-1.000 ekor/pekan atau gres memenuhi 40% kebutuhan pasar.
Kunto menuturkan, di Kota Batam setidaknya terdapat 30 peternak ayam kampung pedaging. Mereka menjadi kawan Kunto. Total jenderal, bila menghitung pasokan seluruh mitra, Kunto memasarkan 5.000 ayam kampung per pekan. Namun, volume pasokan itu tetap saja kurang, apalagi Kunto sekarang melebarkan sayap pemasaran sampai ke Pulau Karimun, Pulau Tanjungpinang, dan Pulau Tanjungbatu.
Menurut Kunto mitranya selalu membeli DOC ayam kampung yang ia sediakan. Saban bulan alumnus sekolah menengah kejuruan mesin itu menjual 20.000-30.000 DOC. Sumbernya? Kunto membeli dari sejumlah penyedia DOC ayam kampung di Pulau Jawa. Salah satu penyedia DOC itu, terdapat di Bogor, Jawa Barat. DOC yang diproduksi dari penyedia di Bogor itu mempunyai kelebihan, yakni cepat tumbuh, sudah divaksin, serta mempunyai warna bulu menarik, khas ayam kampung.
Ade Merizal Zulkarnain dari Kelompok Peternakan Rakyat Ayam Kampung Sukabumi (Kepraks) menjelaskan, banyak orang tertarik terjun beternak ayam kampung, tapi kesulitan memperoleh DOC.
Ketua Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) itu juga berharap ayam kampung sanggup menyumbang 25% produksi total unggas nasional. Untuk tujuan itu, Ade berhubungan dengan PT Warso Unggul di Desa Tangkil, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, untuk memproduksi DOC ayam kampung secara besar-besaran.
Menurut Ade, dikala ini kapasitas produksi PT Warso Unggul mencapai 140.000/bulan DOC. Volume itu diperoleh dari 10 sangkar produksi seluas 240 m2 yang masing-masing berisi 1.750 betina dan 96 jantan. Produksi telur per hari mencapai 612 butir/kandang dengan 85% di antaranya lolos masuk mesin pengeraman. Mesin pengeraman yang tersedia berkapasitas 140.000 telur.
Dengan kapasitas produksi itu PT Warso Unggul gres sanggup memenuhi 1% dari ajakan dengan sasaran produksi DOC sebesar 3,2-juta pada 2014. Permintaan tersebut mengalir dari peternak di Bogor, Tangerang, Jambi, sampai Batam di Kepulauan Riau.
Pelaku bisnis DOC ayam kampung lain yakni Her Bram Setyawan di Klaten, Jawa Tengah. Bram yang memulai perjuangan semenjak 2006 itu, sekarang memproduksi 3.000-4.000/hari DOC ayam kampung. Kapasitas produksi itu seluruhnya terserap oleh 8 biro penjual yang bermitra dengannya. Bram mengungkapkan harga DOC dikala ini terus meningkat. Sebagai citra pada 2006 Bram menjual DOC ayam kampung seharga Rp600-Rp1.500/ekor, sekarang Rp3.700-Rp4.200/ekor.
Sejatinya bisnis DOC ayam kampung tidak lepas dari kendala. Salah yang jadi momok yakni sulitnya mengurus surat perizinan. Hal tersebut sanggup diatasi dengan membentuk kelompok peternak kecil. Hambatan lain yakni pembibitan DOC padat modal. Harap mafhum, biaya membeli alat tetas berkualitas dengan kapasitas 30.000 telur mencapai harga Rp250-juta.
Belum ada Komentar untuk "Potret Bisnis DOC Ayam Kampung"
Posting Komentar